Sahjan, Telaga Indah di Taman Nasional Meru Betiri
SAHJAN, begitu warga Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur menamai telaga kecil di kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Nama itu pula yang secara resmi dipakai oleh pengelola Meru Betiri ketika membuka telaga tersebut sebagai destinasi wisata dengan aturan ketat. Artinya, pengunjung harus mematuhi aturan-aturan yang dibuat pengelola taman nasional.
Dari pusat kota Jember, kita membutuhkan waktu sekira 1,5 jam untuk bisa sampai di Sahjan. Bagi yang menggunakan mobil tentu harus memarkir mobil di wilayah pemukiman untuk selanjutnya berjalan kaki atau diantarkan warga dengan sepeda motor untuk sampai lokasi. Bagi yang membawa sepeda motor bisa langsung mengendarainya sampai lokasi.
Nama Sahjan, menurut cerita warga, berasal dari nama salah satu warga yang sering menderas getah nira di kawasan telaga tersebut. Air yang mengalir dari mata air dibendung dengan menggunakan ranting dan dahan pohon yang sudah mati sehingga membentuk telaga dengan air cukup jernih.
Awalnya, saya dan kawan-kawan juga tidak tahu keberadaan telaga indah ini. Semua bermula dari kebiasaan ngluyur di akhir pekan. Saya bersama-sama pengurus Dewan Kebudayaan Jember (DeKaJe) memiliki tradisi berkunjung ke desa atau ke tempat-tempat indah di Jember. Selain menghayati keindahan alam Jember yang dahsyat, juga untuk berbincang dengan warga, pelaku seni, ataupun tokoh-tokoh masyarakat.
Pada Sabtu, 21/8/21, kami berkunjung ke Desa Sanenrejo dengan tujuan pertama menikmati keindahan Gunung Gundil. Apa oleh warga lokal disebut gunung sejatinya merupakan bukit.
Bebatuan menjadi bagian dominan di Gundil. Setelah mencatat beberapa hal dari Gundil dan mengumpulkan secukupnya biji kembang telang warna ungu muda dan lamtoro gunung, kami pun menuju BDR, Bendungan Dam Rejo, masih di Sanenrejo.
Tak disangka, di sana kami berjumpa dengan Mas Blendes, seorang pendamping komunitas warga pinggir hutan. Kami pun diajak mampir ke sebuah warung dan dikenalkan para mantan blandong (penebang pohon ilegal) di kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Kenapa disebut mantan, karena mereka sudah tidak menjalani pekerjaan itu untuk memyambung hidup.
Tak lama kemudian, Kepala Taman Nasional Meru Betiri, Pak Maman, bergabung dengan kami setelah melakukan kunjungan ke rumah mantan blandong. Kami pun berdiskusi gayeng terkait banyak hal, termasuk usaha pihak Taman Nasional untuk mengajak para blandong menemukan solusi bagi kehidupan mereka.
Pak Maman pun mengajak Dewan Kebudayaan Jember untuk bersama-sama mengelola kegiatan berdimensi ekologis dan kultural yang bisa memberikan manfaat untuk warga.
Dua jam lebih kami berbincang dengan gayeng. Menikmati suguhan makan siang dengan menu serba jamur, ikan asin, lalapan terong, arnong, dan sambal menutup perbincangan kami. Sebelum kami pulang Pak Maman dan Mas Blendes menyarankan kami untuk mampir ke Telaga Sahjan yang terletak di Blok Aren.
Kami pun menuju ke lokasi yang hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor dan jalan kali. Letaknya di hutan hujan tropis di wilayah Taman Nasional. Kami menyusuri jalan setapak di tengah hutan dengan suara bermacam burung dan serangga. Tak ada orang lain di sepanjang perjalanan. Setelah sekira setengah jam, sampailah kami di Sahjan.
Untuk beberapa saat lamanya, saya dan kawan-kawan hanya bisa diam, terpesona oleh apa yang kami jumpai. Sebuah telaga kecil yang begitu indah, dengan warna air yang memantulkan hijau dedaunan dari pohon-pohon besar, menyambut kami bersama kicau bermacam burung yang menawarkan orkestra.
Rasanya, kami masih belum percaya, di tengah hutan Meru Betiri terdapat tempat yang begitu indah. Bening air. Rindang pohon. Kicauan bermacam burung. Gemericik suara air dari sumber. Suara angin. Langit biru. Semua menghadirkan komposisi semesta yang bersenandung indah.
Larut dalam komposisi indah tersebut, saya berpikir tentang absurditas penguasa yang mengizinkan pembukaan hutan untuk pertambangan ataupun perkebunan yang merusak keragaman hayati. Yang lebih konyol lagi ketika mereka menyiasati aturan demi melegitimasi kepentingan tersebut.
Misalnya, menurunkan status sebuah kawasan hutan dari kawasan yang tidak boleh dieksploitasi menjadi kawasan yang memungkinkan dieskploitasi. Ataupun, membuat aturan baru yang memungkinkan eksploitasi pertambangan di kawasan hutan yang dilindungi.
Mungkin mereka yang memberikan izin tidak tahu cara menghayati keindahan sempurna alam yang bisa dinikmati manusia. Mungkin mereka terlalu rakus sehingga tidak mau tahu bahwa ada kehidupan dan kesempurnaan ciptaan Tuhan Yang Mahapengasih yang dititipkan ke dalam ekosistem hutan. Yang pasti, banyak hutan indah yang memiliki fungsi ekologis harus rusak dan hancur demi ambisi penambahan penghasilan nasional.
Apakah kawasan Taman Nasional Meru Betiri aman dari kerakusan penguasa yang bercumbu dengan pemodal tambang? Belum tentu. Meskipun berstatus taman nasional, Meru Betiri masih belum aman sepenuhnya. Apalagi beberapa kawasan di sekitarnya diidentifikasi mengandung emas yang melimpah.
Kita bisa belajar dari penurunan status hutan lindung Tumpang Pitu Banyuwangi menjadi hutan produksi sehingga pemodal besar bisa secara leluasa menghancurkan hutan demi mengeruk emas di dalamnya.
Maka, mempertahankan Taman Nasional Meru Betiri memang membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk masyarakat di kawasan pinggir hutan. Mereka perlu diajak untuk menjaga bersama kelestarian hutan agar mendapatkan manfaat ekonomi.
Mengelola Sahjan sebagai destinasi wisata merupakan usaha untuk melibatkan warga dalam pengelolaannya agar mereka bisa ikut menikmati keuntungan. Dengan begitu pula, warga akan memiliki tanggung jawab untuk memelihara kawasan Sahjan dan Meru Betiri.
Keindahan Sahjan adalah keindahan paripurna yang hadir di tengah-tengah Meru Betiri. Siapapun yang berhasil mencapai tempat ini, meskipun tidak ada fasilitas mewah, akan merasakan sensasi yang luar biasa. Rasa bahagia yang membuncah karena bisa berjumpa dengan harmoni yang berasal dari dialog indah alam semesta.
Sebenarnya pihak Taman Nasional membuka tempat ini untuk umum, tetapi tidak membuat akses untuk mobil. Pilihan yang tepat tentunya. Jadinya, ya hanya bisa diakses dengan motor atau jalan kaki.
Target mereka adalah peminat wisata minat khusus, sehingga di sini tidak banyak fasilitas, kecuali gasebo, tempat duduk berbahan kayu, toilet, rakit dari bambu. Minimnya fasilitas merupakan pilihan yang tepat karena tidak akan banyak mengubah Sahjan.
Yang juga istimewa dari danau ini adalah air dari mata air yang sangat segar. Kami pun menikmatinya sepenuh hati, membiarkan air itu memberikan energinya yang begitu murni.
Mengonsumsi air langsung dari mata air menjadi kenikmatan tersendiri, tanpa rasa takut. Sensasi segar yang begitu murni seperti menyebar ke dalam seluruh bagian tubuh.
Bagi penikmat wisata minat khusus, seperti peneliti, pecinta burung, dan penggemar camping, Sahjan menjadi destinasi yang wajib dikunjungi. Mereka bisa menjalankan hobi dan tujuan mereka sembari menikmati oksigen, air, dan keindahan yang disuguhkan semesta. Instansi swasta atau pemerintah tidak ada salahnya menikmati keindahan Sahjan untuk refreshing agar mereka mendapatkan energi baru untuk kerja-kerja profesional di kantor.
Keberadaan Sahjan membuktikan bahwa banyak tempat indah di Jember. Pengelolaan tempat-tempat itu sebisa mungkin tidak menimbulkan kerusakan karena banyaknya fasilitas tambahan.
Melibatkan warga seperti dilakukan pihak Taman Nasional adalah pilihan tepat karena mereka memang berhak untuk mendapatkan manfaat. Konservasi terus berlangsung, warga masyarakat pun beruntung. Terima kasih Sahjan. Terima kasih Taman Nasional Meru Betiri.